Jumat, 11 November 2011

Wajah Baru Komedi Indonesia : Stand Up Comedy

imageJakarta - Seumur hidupnya, Ernest Prakasa tak pernah bermimpi bahwa suatu saat fotonya akan terpampang di halaman depan Kompas, yang notabene surat kabar terbesar di negeri ini. Memang, dia pernah berpura-pura ada di halaman depan koran bernama KAMPAS -- Kami Memang Pas, dalam format undangan resepsi pernikahannya. Tapi yang tak terduga itu akhirnya terjadi pada Minggu, 9 Oktober 2011. Seorang kawan Ernest diTwitter mengatakan bahwa biasanya mereka yang masuk headline Kompas adalah orang penting dan terkenal, dan artinya Ernest adalah satu di antaranya -- meski hingga tulisan ini dibuat, belum banyak orang tahu siapa dirinya. Seorang kawan bernama Teddy Setiawan Kho menulis, “Ernest Prakasa adalah satu dari beberapa orang Cina di Indonesia yang masuk halaman utama Kompas setelah Susi [Susanti], Alan [Budikusuma], Mia Audina, dan Eddy Tansil. “Seumur hidup sekali masuk headline Kompas, sayang nggak bisa pilih sendiri fotonya. Sipit banget!” tulis Ernest di akun Twitter-nya. 

Ernest tak sendirian di halaman depan Kompas hari itu. Foto seorang perempuan berjilbab, dosen bernama Sakdiyah Ma’ruf dan seorang anggota marinir bernama Sersan Daslan Cukup ikut terpampang di sana. Tiga orang itu punya keunikan yang sepertinya menarik bagi Redaktur Kompas sehingga memuatnya di halaman depan. Dan tiga orang itu adalah tiga di antara tiga belas finalis Stand Up Comedy Indonesia, program di Kompas TV yang berisi kompetisi mencari stand up comedian terbaik Indonesia dengan slogan Let’s Make Laugh dan tayang setiap Sabtu pukul 19.30 WIB. 

Kira-kira tiga bulan belakangan, stand up comedy mulai dikenal banyak orang di Indonesia. Banyak media massa mengulas soal kebangkitan stand up comedy yang formatnya relatif belum dikenal sebagian besar masyarakat. Dua stasiun TV swasta menayangkan program stand up comedy: Kompas TV dengan Stand Up Comedy Indonesia yang bentuknya kompetisi (mirip dengan program Last Comic Standing jika kita bicara konteks progam TV dari luar negeri), dan Metro TV dengan Stand Up Comedy Show (tayang setiap Kamis pukul 22.30 WIB), berbentuk showcase di mana para stand up comedian atau comic, atau seorang stand up-- istilah yang lazim digunakan -- dipilih oleh tim kreatifnya. 

Rabu, 21 September 2011, tiga belas comic finalis Stand Up Comedy Indonesia -- dengan pembawa acara Raditya Dika (penulis yang melejit dengan buku Kambing Jantan) dan Pandji Pragiwaksono (penyiar radio, pembawa acara, rapper) -- tampil pertama kalinya di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan, Jakarta, di hadapan dewan juri (Butet Kertaradjasa, Indro Warkop, dan Astrid Tiar). Mereka adalah para kontestan yang lolos dari proses audisi dari Bandung, Jakarta, Yogya, Surabaya, dan Medan. Belum ada yang profesinya comic. Tapi tak sedikit dari mereka yang pekerjaan sehari-harinya berhubungan dengan penulisan atau penyiaran -- kemampuan bicara di depan umum dan kemampuan menulis naskah komedi adalah dua hal utama yang dibutuhkan dalam stand up comedy. Ada juga yang memang profesinya sudah menjadi pelawak seperti Gareng dan Wisben dari Yogya, yang memadukan lawak dan sulap serta terkenal dengan kalimat “Timbul pertanyaan” di setiap penampilannya. 
Pandji Pragiwaksono, dalam Twitter-nya dan dalam materi stand up-nya, menekankan bahwa stand up comedy harusnya membuat orang Indonesia menjadi tidak sensitif. Jangan mudah terpancing emosi akan pernyataan dari orang lain. Berani menertawakan diri sendiri. Seperti yang dilakukan Ernest dengan beberapa materi stand up-nya. “Banyak yang menyuruh kalau sakit pergi ke sinshe (ahli pengobatan Cina). Tapi itu Bruce Lee bertahun-tahun sakit pilek nggak sembuh-sembuh [menirukan gerakan Bruce Lee yang setiap berkelahi selalu menyeka hidungnya]. Makanya, mending juga pergi ke dokter,” kata Ernest. 

Sementara itu, pada 13 September 2011, Metro TV pertama kali melakukan taping untuk program Stand Up Comedy Show. Berbeda dengan Kompas TV, program di Metro TV ini tidak menggelar kompetisi. Para comic dipilih langsung oleh tim kreatifnya. Untuk edisi perdana itu, mereka tak melalui proses audisi karena tim kreatif menganggap para comic yang diundang sudah mampu tampil setelah melihat tayang-annya di YouTube. Belakangan, Stand Up Comedy Show juga mengadakan open mic (kesempatan untuk mencoba melakukan stand up atau melatih materi) bagi mereka yang ingin menunjukkan bakat dan ingin tampil di program itu. 

Agus Mulyadi, Manajer Produksi dan Kreatif Me-tro TV, sebenarnya sudah punya ide untuk membuat program stand up comedy sejak setahun lalu. Ini berawal setelah dia melihat penampilan Pandji Pragiwaksono di konser mini yang digelar khusus untuk para follower Twitter-nya. “Respon dari audiens saat itu membuat saya cukup ‘terganggu’ ya. Konsep stand up itu sangat bisa diterima. Bahwa audiens terhibur, itu sangat terasa. Saya pikir harus dicoba. Pasarnya ada, dan ternyata ada yang bisa menerima,” katanya.
Tapi persoalan kemudian muncul: siapa yang akan mengisi acaranya? Jika yang tampil itu-itu saja, Agus khawatir penonton akan merasa bosan atau mereka tak punya persediaan comic yang cukup banyak. Dan ide itu pun harus diendapkan selama setahun hingga akhirnya di pertengahan tahun 2011 tiba-tiba banyak comicbermunculan setelah banyak yang berpartisipasi pada kegiatan open mic. Maka dibawalah kembali ide untuk program stand up comedy ke divisi programming. Tak ada kesulitan berarti ketika ide ini ditawarkan. Kalangan internal Metro TV sepakat menganggap bahwa program itu akan menghibur tapi tak melenceng dari karakter Metro TV. Episode perdana mendapat rating 1,3 dengan 7,8 share alias bagus, sejajar dengan rating acaraKick Andy yang merupakan salah satu program unggulan di sana. Menurut Agus, intuisinya mengatakan bahwa episode perdana itu akan mendapat respon yang baik dari para pemirsa, apalagi setelah melihat respon di Twitter

Ketika ditanya soal bagaimana menyensor lelucon para comic, Agus mengatakan bahwa Metro TV percayagenre komedi ini bisa mengajak kita untuk tertawa dan belajar lebih dewasa, belajar untuk tidak sensitif. Ini dibuktikan dengan tak disensornya lelucon soal Surya Paloh sang pemilik Metro TV yang sering sekali ditampilkan berlama-lama pidato di televisi itu.


“Ketika kami memilih materi yang dihadirkan, kami juga belajar untuk menerima konteks itu kepada diri sendiri, belajar lebih dewasa itu ya buat penonton, buat Metro TV, buat pengiklan juga. Ketika materi yang bercanda sama diri sendiri, ya kita belajar untuk tertawa bersama-sama. Kami kembalikan dulu kepada para comic, kami selalu memberikan kebebasan, tapi kami minta mereka melakukan self censorship. Setelah itu kami melakukan filter lagi, dalam konteks materi yang kami anggap tak bisa tayang, misalnya ada unsur yang menyerang SARA, kata jorok, hal yang berkaitan dengan fisik, itu tidak akan kami naikkan, tapi kalau hal tentang materi joke dewasa atau folklore, kami masih tampilkan,” kata Agus. 

Lantas pertanyaan berikutnya adalah: seberapa konsisten Metro TV terhadap program ini? Dengan mantap Agus menjawab bahwa bagi Metro TV, program ini punya semangat jangka panjang dan ada semangat untuk mendidik para pemirsa lewat program ini. “Mungkin bakal muncul titik jenuh, tapi harus ada tantangan buat kreatif dan itu juga dihadapi di semua program yang kami jalankan. Kami membaca ini sebuah momentum yang tidak sesaat, kami merasa trend ini muncul karena sudah waktunya. Ada faktor titik jenuh masyarakat, kegelisahan di masyarakat yang perlu hiburan jenis baru,” katanya. 
Hal senada diungkapkan oleh Indra Yudhistira, Executive Director Kompas TV. Menurut Indra, Indonesia perlu jenis komedi yang bisa berkembang, karena saat ini komedi di Indonesia malah mundur menjadi lebih slapstick. Meski mengatakan bukan berarti komedi slapstick salah, tapi komedi yang cerdas perlu disuguhkan kepada masyarakat. “Stand up comedy itu bukan sekadar komedi cerdas, tapi bisa menganalisis juga, bisa jadi kontrol sosial juga,” katanya. 

Indra, yang pernah menjabat sebagai Vice President of Production di RCTI, sebenarnya sudah punya ide untuk membuat tayangan stand up comedy sejak dia masih bekerja di RCTI, tapi karena program itu dianggap tak akan laku, akhirnya tak pernah benar-benar terwujud. Yang paling mendekati dari impian Indra adalah adanya program Bincang Bintang medio 2005 - 2006 yang dipandu Tika Panggabean, diisi oleh penampilanstand up dari Iwel karena Tika tak mampu melakukannya. Ini agaknya bisa dianggap sebagai kemunculanstand up comedy pertama kali di layar kaca Indonesia. Program yang mengadaptasi program bincang-bincang yang dipandu Jay Leno atau David Letterman itu hanya bertahan 13 episode karena tergilas oleh popularitasEmpat Mata yang dipandu Tukul Arwana. 

Maka ketika Indra punya jabatan yang memungkinkan untuk meloloskan program stand up comedy, dibuatlahStand Up Comedy Indonesia di Kompas TV. Tapi meski di internal relatif mudah meloloskan program ini (dengan beberapa orang meragukan bahwa program ini akan diterima penonton), bukan berarti tanpa hambatan. Yang namanya kompetisi tentu harus ada pesertanya. Dan ketika akhirnya audisi diadakan di kota-kota seperti yang saya tulis di atas, tak banyak peserta yang datang. Jangan bayangkan antrian yang sangat panjang seperti biasa terlihat di audisi Indonesian Idol. Jumlah peserta audisi paling banyak ada di Jakarta, itu pun hanya 65 orang dan hanya 20 persen yang mengerti konsep stand up comedy. “Akhirnya kami kompromi dengan memilih mereka yang punya bakat komedi, paling tidak punya bakat untuk jadi stand up comedian, kami ajari. Karena kalau mau fair, ya industrinya belum berkembang,” kata Indra. 

Tak ada sistem polling lewat SMS dalam kompetisi ini, karena kata Indra sistem itu sering mendapat kritik dari masyarakat dan dianggap yang lolos hanya yang mampu menggerakkan massa. Ada hadiah puluhan juta menanti buat comic terbaik yang akan menjadi pemenang. Selain itu, Indra menjanjikan program stand up comedy kepada pemenangnya, serta program komedi kepada beberapa comic yang dianggap berbakat. Mengenai Metro TV yang punya program Stand Up Comedy Show, Indra merasa senang karena itu membuktikan bahwa tayangan seperti ini diterima di industri hiburan. Seperti juga Agus, Indra mengatakan visi jangka panjang terhadap acara ini. Untuk itu, kata Indra, harus didukung oleh media, komunitasnya dan penontonnya. Indra yakin bahwa stand up comedy akan tumbuh, meski dia tak tahu bakal sepesat apa, karena itu harus dijawab oleh penonton. 

“Nggak usah berpikir ini akan jadi seperti Opera Van Java (tayangan komedi di Trans 7 yang sedang popular) deh, yang penting ini tumbuh dan ada komunitasnya, jalan pelan-pelan dan ada program yang bagus, orang-orang itu bisa tampil di situ tiap minggu. Harus melihatnya secara fair. Kalau kami mengukurnya adalah stand up comedy ini paling nggak dapat tempat dulu. Kalau semakin banyak yang nonton akan semakin berkembang,” kata Indra. 

Soal rating, Indra mengatakan saat ini rating belum bisa dijadikan ukuran kesuksesan program mereka. Kesuksesan bagi Indra adalah ketika orang-orang membicarakan program ini dan mendapat perhatian khusus di media massa (saat ini sudah banyak majalah dan surat kabar yang membahas kebangkitan stand up comedydi Indonesia). Agus juga sependapat dan menganggap rating bukan satu-satunya. Meski tak pernah mengesampingkan rating, Agus mengatakan bahwa Metro TV tak menjadikan itu indikator mutlak. 

“Ini program yang kami anggap ada warna idealisnya. Kalau dibilang ini percobaannya cuma 13 episode ya sepertinya terlalu naif. Biarlah waktu yang menjawab,” kata Agus.
“Nah sekarang, ini giliran kalian, panggungnya sudah dikasih, mau mati-matian nggak mempertahankan? Setiap minggu belajar, berlatih. Suatu saat elo nggak bisa bikin ini sambilan. Kalau suatu saat stand up comedy bisa menghidupi, ya elo butuh keseriusan. Panggungnya sudah ada, sekarang giliran kalian isi mati-matian. Buat orang tertawa, buat orang nonton!” kata Indra.

The Oxford English Dictionary dan Webster’s Collegiate Dictionary mulai mengenal istilah ‘stand-up comic’ pada tahun 1966. Jadi, secara istilah, stand-up comedy baru berumur 45 tahun. Menurut Raditya Dika, stand up comedy sebenarnya muncul dari Inggris pada abad ke 18 - 19, namun mendapat popularitas yang cepat dari perkembangannya di Inggris dan Amerika Serikat. Menurut Jim Mendrinos di www.twodrinkmin.com, sebelum muncul istilah stand-up comic di kamus itu, siapapun yang bisa membuat orang tertawa disebutcomic. Maka pada 1966, istilah stand-up comic muncul. Masih menurut Mendrinos, hingga abad ke-18, komedi masih eksklusif milik gedung pertunjukan. Kakek (yang tak disengaja) dari stand-up comedy adalah Thomas Dartmouth “Daddy” Rice, yang dianggap sebagai penemu minstrel shows (pertunjukan di panggung yang populer dan menampilkan comic, lagu dan tarian yang ditampilkan oleh banyak aktor yang memakai riasan berwarna hitam. Minstrel show dibangun atas dasar stereotipe negatif yang rasial, dan sering mengolok-olok ras yang sudah tertindas. Ini dimulai sebelum Perang Sipil, dan berlanjut hingga abad ke-20. 

Meskipun menjadi bagian dari sejarah panggung pertunjukan di Amerika, minstrel show tak sama dengan produksi pertunjukan umumnya pada saat itu. Pertunjukannya tak terikat pada plot, melainkan pada tema, dan karakter yang bebas. Di antara karakter itu, ada The Endmen yang memang tampil hanya untuk membuat tertawa. Di antara kedua segmen minstrel show yang pertunjukannya seputar komedi musikal, The Endmen tampil membawakan ‘stump speech’ atau ‘pidato politik.’ Maksudnya, monolog satir yang mengolok-olok kondisi terkini dan figur politik. Ini juga kali pertamanya, sesuatu yang mirip stand-up comedy ditampilkan di depan penonton. Sejak itu, minstrel shows membuktikan bahwa pertunjukan dengan biaya rendah bisa diterima sebagai hiburan yang populer. 

Di awal abad ke-20, akhirnya vaudeville (pertunjukan yang menampilkan tarian, nyanyian, komedi, akrobat hingga sulap) dan komedi musikal digilai masyarakat di Amerika. Vaudeville membuktikan bahwa komedi bisa ditampilkan di panggung besar, tapi burlesque) pertunjukan humor yang provokatif menampilkan humorslapstick, lelucon verbal, aksi penari telanjang, dan para penyanyi perempuan) membuktikan bahwa stand-up comedy bisa ditampilkan dalam tempat yang lebih intim. Para comic yang tampil di burlesque menampilkan sketsa dan monolog di gedung pertunjukan yang lebih kecil, intim, dan penuh interaksi hingga menghasilkan gaya stand-up

Ketika radio, film, dan khususnya televisi menjadi populer, permintaan akan vaudeville dan burlesque menurun tapi pasar untuk pertunjukan musik masih banyak hingga klub malam bermunculan mengisi kekosongan. Comicyang haus akan penonton akhirnya terpaksa tampil di antara pertunjukan band di klub-klub itu. Kondisi ini akhirnya membuat para comic harus melupakan gaya pertunjukan di vaudeville dan fokus pada yang membuat mereka istimewa: komedi. Pada akhir tahun ’50-an, di Amerika tumbuhlah generasi comic di bawah kondisi ini. Generasi pertama comic meliputi Lenny Bruce (yang pernah berurusan dengan aparat karena materi stand up-nya dianggap meresahkan masyarakat), Lord Buckley, Dick Gregory, Bob Newhart, Bill Cosby, dan Mort Sahl. Para comic itu belajar dari para pendahulu mereka: Danny Thomas, Myron Cohen, dan Bob Hope, yang memodernisasi stand up comedy dan menurunkannya pada Freddie Prinze dan Robert Klein. Era ’70-an di Amerika Serikat, nama Richard Pryor dan George Carlin menjadi ikon di stand-up comedy. Hingga era ’90-an, berbagai gaya stand up comedy muncul, di antara-nya gaya impulsif alias penuh improvisasi dari Robin Williams, pengamatan yang unik dari Jerry Seinfeld, serta perenungan yang penuh ironi dari Steven Wright. Tiga orang itu dianggap mempengaruhi generasi berikutnya. Mendrinos tak bisa menyebut orang yang pertama kali tampil melakukan stand up. Seperti juga pelukis pertama, atau pujangga pertama, namanya tak tercatat dalam sejarah. 
Joke-telling beda dengan stand up. Joke-telling itu cenderung menceritakan yang fiksi sudah dikenal banyak orang, set up nya panjang, punch line nya sedikit, dia cenderung anekdot lah, bercerita,” kata Iwel.

Stand up comedy itu berangkat dari observasi, memotret fenomena sosial, menganalisa, dan membahasnya secara monolog yang lucu,” kata Pandji.


Sumber : RollingStoneIndonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar